Jumat, 15 Juni 2012

Nganufacturing Hope: Kereta Bertingkat KRL Jabodetabek


Pertama kali saya mengenal KRL hanya dari suaranya nggejese..nggejess...nggejess. Suaranya terdengar sangat menggangu tidurku diwaktu subuh ketika menginap pertama kali di kos-an teman. Gimana yaa, relnya aja cuma berjarak 15 meter dari kos-an itu.

Namun nasib membawaku kembali ketemu dengan KRL dan harus menaikinya setiap hari untuk berangkat dan pulang kerja, karena terpaksa ngekos di tempat temenku itu lagi. Ceritanya, biar sedikit ngiriiitt.

Apa daya karena gaji yang nge-pas, alhasil KRL yang dinaiki saban hari hanya bisanya KRL Ekonomi. Mau naik yang AC (dahulu), eh itu KRL enggak mau berhenti di stasiun tujuanku. Kata peraturannya, KRL AC hanya berhenti di stasiun-stasiun tertentu. Trus, tarifnya jauh melompat dari tarif KRL Ekonomi yang terpaksa ku naikin. Kok bisa ya, dari Rp 1.500,- tarif KRL Ekonomi, eeh... KRL AC malah Rp 9.000,-. Waduh mana tahaaannn, berat diongkos.

Jadilah saya naik KRL Ekonomi. Karena belum ngerti jadwal, jadi biasanya asal naik begitu ada yang datang. Melihat atapers-nya, membuatku langsung sadar, kayaknya butuh perjuangan berat layaknya mendaki gunung nih, pikirku. Namun ternyata perkiraanku “salah besar”. Perjuangannya lebih susah dan diikuti sesak napas daripada berjalan selangkah demi selangkah ketika mendaki gunung berapi. Belum juga berhenti, ada yang sudah mau turun dan mau naik ke dalam KRL. Jadi antrian tidak laku disini. Siapa yang mau dapat posisi “nyaman”, maka cepatlah merangsek masuk. Lanjutkan dengan upaya mendorong, terus gunakan setidaknya satu kaki untuk mengambil tempat ke dalam KRL. Loh kok cuma satu kaki? Lah iya, karena itu semacam tanda - yang penting kita sudah masuk KRL. Enggak kebayangkan masuk angkutan kota hanya nangkring berdiri cuma dengan satu kaki. Dulunya emang engggak, tetapi dengan KRL inilah aku mengenal hal ini dan hal-hal lainnya yang sangat menakjubkan...wuidiiih “jangan dibayangin yang indah-indah ya”.

Kalau dibuat list-nya, maka ini adalah pengetahuan mendasar yang ga akan didapat di bangku sekolahan yang suka ditulisin loh. Ini dia :

1.Bau manusia ternyata sangat beragam heuumm..., bukan karena parfumnya, bau pewangi pakaian, ataupun keringatnya. Apakah karena Indonesia yang diciptakan sangat beragam dengan berbagai suku bangsa, golongan, agama, budaya dan makanan tradisionalnya, maka bau manusia yang ada di dalam KRL pun macam-macam. Kalo tadi pagi ada yang makan jengkol, pasti deh napas-napas yang berhembus huuffpp, belum lagi bau yang suka merokok, bau ketek yang ga ada deodorannya, hingga bau makanan dan hewan yang ditaruh di dalam bakul penjual pikulan.

2.Sifat manusia yang “sadis”, baik dan baik sekaliii, cerewet, suka menggerutu dan bahkan sifat pelawak ada di dalam KRL. Biar yang naik adalah mereka yang cuma bisa makan sekali sehari aja udah untung, tetapi jangan ini dijadikan parameter untuk mengukur sifat penumpang KRL Ekonomi ya. Kalo yang baiikkk sekaliiii adalah mereka yang bersedia memberikan dan berbagi tempat duduk dengan penumpang lainnya. Kalo naik KRL AC, wiiih, minta geser aja susah, apalagi meminta ruang yang dipake para penumpang yang dengan seenaknya pake kursi lipat tanpa memikirkan keretanya sudah penuh penumpang.

Bagi para atapers pun begitu, mau kenal ataupun tidak, penumpang yang sudah berada di atap akan membantu penumpang yang akan naik ke atas. Masalah sulit atau kemungkinan terpanggang di atap, urusan nanti. Para atapers tidak masalah tuh. Nah untuk saya sendiri, saya sekalian menyampaikan di dalam tulisan ini : “terimakasih banyaaakkk”...karena ada atapers-lah, maka saya masih bisa mendapatkan “ruang” di dalam KRL ekonomi selama ini.

3.Aku jadi mengenal wilayah Jabodetabek karena KRL. Walopun dulu Ilmu Geografiku bagus, kalo urusan pergi kemana, aku hanya tau diantar dan dijemput tanpa mengenal berangkat dari mana – trus mau kemana. Walo bukan asli wilayah sini, tetapi aku lebih mengetahui jalan-jalan di sini daripada di kampung asalku, semuanya karena adanya KRL ini. Karena KRL bisa menjangkau tempat-tempat yang jauh tanpa harus merogoh kantong terlalu dalam, aku bisa berjalan-jalan di kota besar seperti di Jakarta. Aku bisa berangkat wawancara untuk melamar kerja ke tempat-tempat yang ada stasiunnya (sebelum kerja di tempat sekarang). Aku terpaksa dan akhirnya menjadi sangaattt suka membaca peta dan hebatnya adalah: AKU ADALAH PENUNJUK JALAN KE IBUKOTA bagi teman-teman satu kos-an. Dalam hal ini – boleh bangga donk walau enggak dapat trofi juara hehehe...

Nah selain dari list di atas, masih banyak sebenarnya yang aku dapatkan ketika naik KRL khususnya KRL ekonomi. Banyak suka dan duka yang ku alami dan ku anggap sebagai pengalaman berharga sebagai penumpang KRL.

Untuk itu aku punya harapan yang sangaaattt besar sambil berkhayal begini : seandainya setiap kali satu perjalanan KRL, Lokomotif KRL bisa menarik banyak gerbong yang dibuat secara bertingkat layaknya bus bertingkat dan pesawat Airbus jenis berpenumpang ratusan orang. Jadi listrik aliran atasnya ditinggiin lagi, trus gerbong yang ditarik ke belakang dengan jumlah yang sama seperti sekarang. Bedanya adalah, gerbong-gerbong ini langsung dibagi dan disusun sesuai kelas tarifnya, sehingga dalam satu kali perjalanan, mau penumpang berdasi dan wangi, penumpang yang bisa makan dua kali sudah hebat banget (itu judulnya), hingga penjual pikulan dan penjual asongan yang memiliki ruang untuk meletakkan dagangannya, pada waktu bersamaan dapat berangkat sampai di tujuan. Masalah pembagian ruang gerbongnya, diharapkan PT. KAI bisa tetap memperhatikan rasa perikemanusian dan perikeadilannya. Masalahnya tidak mungkin? Yaaa sampai kapanpun semua hal tidak akan mungkin kalo PT. KAI berpikiran seperti itu.

Jadi marilah kita berkhayal barang sejenak saja...seandainya KRL khususnya ekonomi, bisa dinaikin orang kecil tetapi tetap dapat menghirup udara segar, karena KRL yang berangkat selalu memiliki ruang yang cukup bagi orang-orang yang dipenuhi dengan berbagai pikiran mengenai permasalahan hidupnya masing-masing...Semoga...amin..."

Tidak ada komentar:

Posting Komentar