Minggu, 30 Oktober 2011

Pendidikan Untuk Hidup

Pengalaman saya selama hampir 12 tahun mengenyam pendidikan di bangku sekolah mencuat kesan kuat, betapa kini pendidikan di Indonesia bisa dibilang tidak berhasil. Kesan ini terangkum dalam beberapa hal. Pertama, kian banyak murid sekolah yang bosan dengan proses belajar formal di sekolah atau perguruan tinggi. 
Lihatlah murid-murid sekolah itu bersorak-sorai kegirangan ketika mendadak dipulangkan lebih awal dari jadwal rutin, misalnya, ketika para guru harus rapat. Tatkala pelajaran terjadwal diganti dengan bincang-bincang bersama konselor, tampak benar murid-murid di kelas gembira. Malah, tidak sedikit dari murid-murid meminta acara itu diperpanjang sampai dua jam pelajaran.

Kedua, terkesan seiring dengan perjalanan waktu, semakin banyak murid yang kian tidak menyukai proses belajar. Murid yang diawal tahun pembelajaran masih semangat, pada pertengahan hingga akhir tahun pelajaran merosot semangatnya.

Jika ketidaksukaan itu berlangsung kronis, bisa berujung pada ketidakgemaran belajar. Sungguh ironis, pendidikan formal di bumi Indonesia justru cenderung menjadikan peserta didik semakin tidak menyukai belajar. Padahal, tujuan asasi pendidikan setidaknya berupa tumbuh kembang peserta didik yang makin gemar belajar, kian suka belajar sendiri, dan mampu belajar secara mandiri.

Mengapa pendidikan di Indonesia gagal cukup parah? Pada perenungan ini akan disodorkan beberapa butir sederhana yang tersaring berkaitan dengan permasalahan diatas.

Butir pertama, proses belajar mengajar di sekolah berlangsung seperti terpisah dari kehidupan. Hal ini menjadikan proses belajar di sekolah sangat tidak menyenangkan, sulit dimengerti, dan sangat tidak menarik. Para murid hanya berkutat dalam dunia “mengetahui” tanpa “mengerti”. Ujungnya, mereka bosan, lalu tidak suka belajar, tidak hormat pada proses belajar mengajar.

Kalaupun mereka duduk diam di kelas atau mengikuti pelajaran di sekolah dengan tertib, mereka melakukan itu semua hanya demi nilai ulangan yang memenuhi syarat kelulusan, demi naik kelas, demi lulus ujian akhir. Bukan untuk kian mampu memecahkan masalah-masalah kehidupan riil secara mandiri dan sukses.

Seorang murid pernah mengatakan, “Aku bosan sekali belajar geografi, karena aku mesti menghafal banyak hal yang tidak pernah kulihat sendiri. Aku diminta menghafal puluhan jenis sapi. Padahal selama hidupku, aku baru dua kali melihat sapi.

Murid lain mengatakan, “Saya semakin tidak mengerti. Di kelas saya diajari untuk bersikap anti korupsi lewat pelajaran kewarganegaraan dan pelajaran agama. Betapa korupsi merugikan bangsa dan negara, bahkan merusak kehidupan dan merupakan kejahatan keji. Akan tetapi di luar kelas, saya menemukan praktik korupsi dilakukan seolah tanpa rasa dosa, sebagai kerutinan sehari-hari.”

Butir kedua, beban pelajaran terlalu besar, menyita waktu, sehingga menekan kreativitas murid-murid. Apalagi jika orangtua berambisi “mencetak” anaknya menjadi manusia serba bisa dengan mengharuskan anak ikut les ini, kursus itu, atau berbagai pelajaran tambahan lain. 

Teranglah anak kehabisan waktu. Tiada waktu tersisa untuk mengembangkan kreativitas, mengembangkan hobi mereka yang menjadikan hidup lebih berarti, dan merefleksikan atau melakukan perenungan. Mereka cenderung reaktif dan monoton.

Butir ketiga, relasi atau hubungan antara pendidik dengan peserta didik cenderung kian dingin, kurang diresapi kesalingmengertian yang penting untuk menumbuhkembangkan suasana belajar mengajar yang menyenangkan. Peserta didik dan pendidik bertemu seolah hanya untuk menyelesaikan kewajiban mereka masing-masing, yakni peserta didik untuk mendengarkan pengajaran dan pendidik hanya sebatas untuk mengajar. Padahal sesungguhnya motivasi belajar akan lebih bisa bertumbuh kembang dengan baik bila ada suasana relasi yang menyenangkan, penuh saling hormat, saling menghargai, dan saling mengerti antar kedua belah pihak.

Andaikata, ketiga butir diatas dapat berjalan dengan baik, keluhan peserta didik seperti diawal tulisan bisa dieliminasi. Peserta didik semakin senang belajar, kian suka belajar sendiri, dan makin mampu belajar secara mandiri. Hasilnya, mereka paham akan arti hidup.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar