Pengalaman saya selama hampir 12 tahun mengenyam
pendidikan di bangku sekolah mencuat kesan kuat, betapa kini pendidikan di
Indonesia bisa dibilang tidak berhasil. Kesan ini terangkum dalam beberapa hal.
Pertama, kian banyak murid sekolah yang bosan dengan proses belajar formal di
sekolah atau perguruan
tinggi.
Lihatlah murid-murid sekolah itu bersorak-sorai
kegirangan ketika mendadak dipulangkan lebih awal dari jadwal rutin, misalnya,
ketika para guru harus rapat. Tatkala pelajaran terjadwal diganti dengan
bincang-bincang bersama konselor, tampak benar murid-murid di kelas gembira.
Malah, tidak sedikit dari murid-murid meminta acara itu diperpanjang sampai dua
jam pelajaran.
Kedua,
terkesan seiring dengan perjalanan waktu, semakin banyak murid yang kian tidak
menyukai proses belajar. Murid yang diawal tahun pembelajaran masih semangat,
pada pertengahan hingga akhir tahun pelajaran merosot semangatnya.
Jika
ketidaksukaan itu berlangsung kronis, bisa berujung pada ketidakgemaran
belajar. Sungguh ironis, pendidikan formal di bumi Indonesia justru cenderung
menjadikan peserta didik semakin tidak menyukai belajar. Padahal, tujuan asasi
pendidikan setidaknya berupa tumbuh kembang peserta didik yang makin gemar
belajar, kian suka belajar sendiri, dan mampu belajar secara mandiri.
Mengapa
pendidikan di Indonesia gagal cukup parah? Pada perenungan ini akan disodorkan
beberapa butir sederhana yang tersaring berkaitan dengan permasalahan diatas.
Butir
pertama, proses belajar mengajar di sekolah berlangsung seperti terpisah dari
kehidupan. Hal ini menjadikan proses belajar di sekolah sangat tidak
menyenangkan, sulit dimengerti, dan sangat tidak menarik. Para murid hanya
berkutat dalam dunia “mengetahui” tanpa “mengerti”. Ujungnya, mereka bosan,
lalu tidak suka belajar, tidak hormat pada proses belajar mengajar.
Kalaupun
mereka duduk diam di kelas atau mengikuti pelajaran di sekolah dengan tertib,
mereka melakukan itu semua hanya demi nilai ulangan yang memenuhi syarat
kelulusan, demi naik kelas, demi lulus ujian akhir. Bukan untuk kian mampu
memecahkan masalah-masalah kehidupan riil secara mandiri dan sukses.
Seorang
murid pernah mengatakan, “Aku bosan sekali belajar geografi, karena aku mesti
menghafal banyak hal yang tidak pernah kulihat sendiri. Aku diminta menghafal
puluhan jenis sapi. Padahal selama hidupku, aku baru dua kali melihat sapi.
Murid
lain mengatakan, “Saya semakin tidak mengerti. Di kelas saya diajari untuk
bersikap anti korupsi lewat pelajaran kewarganegaraan dan pelajaran agama.
Betapa korupsi merugikan bangsa dan negara, bahkan merusak kehidupan dan
merupakan kejahatan keji. Akan tetapi di luar kelas, saya menemukan praktik
korupsi dilakukan seolah tanpa rasa dosa, sebagai kerutinan sehari-hari.”
Butir
kedua, beban pelajaran terlalu besar, menyita waktu, sehingga menekan
kreativitas murid-murid. Apalagi jika orangtua berambisi “mencetak” anaknya
menjadi manusia serba bisa dengan mengharuskan anak ikut les ini, kursus itu,
atau berbagai pelajaran tambahan lain.
Teranglah
anak kehabisan waktu. Tiada waktu tersisa untuk mengembangkan kreativitas,
mengembangkan hobi mereka yang menjadikan hidup lebih berarti, dan
merefleksikan atau melakukan perenungan. Mereka cenderung reaktif dan monoton.
Butir
ketiga, relasi atau hubungan antara pendidik dengan peserta didik cenderung
kian dingin, kurang diresapi kesalingmengertian yang penting untuk
menumbuhkembangkan suasana belajar mengajar yang menyenangkan. Peserta didik
dan pendidik bertemu seolah hanya untuk menyelesaikan kewajiban mereka
masing-masing, yakni peserta didik untuk mendengarkan pengajaran dan pendidik
hanya sebatas untuk mengajar. Padahal sesungguhnya motivasi belajar akan lebih
bisa bertumbuh kembang dengan baik bila ada suasana relasi yang menyenangkan,
penuh saling hormat, saling menghargai, dan saling mengerti antar kedua belah
pihak.
Andaikata,
ketiga butir diatas dapat berjalan dengan baik, keluhan peserta didik seperti
diawal tulisan bisa dieliminasi. Peserta didik semakin senang belajar, kian
suka belajar sendiri, dan makin mampu belajar secara mandiri. Hasilnya, mereka
paham akan arti hidup.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar